28 February 2016

Taksi Perlu Berbenah

Siang ini (Minggu, 28 Feb 2016) saya dengan dua orang teman baik saya berangkat dari lokasi tempat tinggal menuju ke sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Awalnya ingin naik angkutan umum berbasis aplikasi, namun tidak banyak mobil tersedia dan estimasi waktu ketibaan cukup lama. Jadi, kami naik taksi reguler dari area tempat tinggal kami. 

Kami termasuk sering naik taksi untuk bepergian di dalam kota Jakarta. 

Begitu taksi mulai bergerak, saya sudah kurang nyaman dengan gerak resah dan komentar-komentar dari Bapak supir. Bapak supir juga menyampaikan bahwa pada hari Senin, 29 Februari 2016, para supir taksi di Jakarta akan melakukan mogok bersama untuk menunjukkan rasa tidak suka mereka pada angkutan umum berbasis aplikasi. Saya sangat ingin mengetahui lebih banyak, tetapi saya merasa tidak nyaman untuk berbicara panjang lebar dengan Bapak supir taksi tersebut.

Tidak lama kemudian, Bapak supir menepi di tempat pengisian bahan bakar (SPBU). Bapak supir hanya mengatakan bahwa dia perlu isi bahan bakar persis saat akan berbelok masuk ke SPBU. Lalu yang mengejutkan saya adalah bukannya dia turun dari taksi untuk melakukan transaksi, tetapi dia mengulurkan tangannya dengan uang 100 ribu rupiah, melewati badan saya yang saat itu duduk di kursi penumpang depan. Dia minta tolong saya bukakan pintu saya, sedikit berteriak memanggil petugas SPBU dan meminta saya untuk menyerahkan 100 ribu rupiah tersebut kepada petugas SPBU. Saya kesal sekali dengan tindakannya, tetapi saya urungkan niat untuk menegur dia karena saya khawatir dia akan berlaku lebih kasar selama perjalanan. 

Saya siapkan Twitter keluhan kepada perusahaan taksi tersebut dengan mengikutkan nomor kode mobilnya. 

Ketika sampai di lokasi pusat perbelanjaan yang dituju, argo menunjukkan Rp 48,500. Saya berikan uang Rp 50,000 dan bergegas turun. Begitu kami bertiga turun dari taksi, Bapak supir menekan pedal gas dengan cukup kencang sehingga deru mobil terdengar jelas, seperti orang yang melaju dengan rasa kesal/marah.

Saya berbincang dengan kedua teman saya -- jelas saja ada pergerakan natural dari pengguna taksi reguler ke angkutan umum berbasi aplikasi. Dari pengalaman saya menggunakan angkutan umum berbasis aplikasi, yakni sekitar 10 kali dalam sebulan, saya belum pernah mendapat perlakukan tidak sopan seperti taksi reguler hari ini. 

Saya lalu mengirimkan Twitter keluhan yang sudah saya draft sejak di dalam taksi.

Saya rasa para taksi reguler perlu bergegas membenahi diri. Angkutan umum berbasis aplikasi lebih murah sekitar 20 - 30% daripada taksi reguler. Supir berperilaku dan bertutur kata lebih sopan. Hanya satu kali saya mengalami supir berbasis aplikasi dengan bau badan tidak sedap, sedangkan di taksi reguler saya seringkali pasrah dengan aroma tidak sedap...

PS: keluhan Twitter saya dibalas oleh pengelola taksi reguler tersebut, tetapi ya balasan standar yang mengatakan bahwa keluhan diterima dan mohon maaf. Saya juga bertanya via Twitter kepada dua perusahaan taksi reguler terkait rencana mogok taksi 29 Februari 2016, keduanya tidak membalas.