18 September 2008

Pulang Bertiga

Wanita hamil (besar) itu melangkah pasti menuju sang pria. Saling pandang sejenak, lalu diberikannya barang bawaannya kepada sang pria. Dipakainya jaket penutup tubuh, sapu tangan penutup hidung dan mulut. Disempatkannya merapikan rambut sejenak sebelum memakai helm pelindung kepala itu. Lalu, dilangkahkannya kakinya untuk duduk di belakang sang pria.

Sebagai orang yang tidak bisa mengendarai sepeda motor dan jarang menggunakan jasa ojek untuk jarak jauh, saya sangat khawatir melihat uraian di atas. Dengan motor, serasa tubuh kitalah yang melaju di jalan raya. Berbeda dengan naik kereta atau mobil, tubuh kita berada di suatu ruang tertutup yang melaju di jalan raya. Jika terjadi tabrakan, kulit tubuh kita yang bergesekan dengan jalan raya bukan ‘kulit’ mobil kita.

Ilustrasi di atas didukung oleh sebuah artikel di berita online AntaraNews. Pada tahun 2007, dari 3,522 kasus kecelakaan di jalan raya Jakarta, sebanyak 88% melibatkan sepeda motor dengan 719 korban tewas, 1,703 luka berat dan 2,454 luka ringan. Itu hanyalah yang tercatat…

Di sisi lain, menggunakan sepeda motor sangat membantu dalam melintasi jalanan Jakarta yang seringkali macet. Sepeda motor telah menjadi pahlawan bagi banyak orang dalam perjuangan pulang-pergi ke tempat kerja, berbisnis jual beli barang/jasa, mengantar pulang wanita pujaan hati, dan mudik ke kampung halaman saat Lebaran. Beberapa kalangan juga menganggap ‘pahlawan’ yang satu ini tidak sulit digapai; kredit dibuka pada harga 5 lembar uang seratus ribu rupiah. Tidak heran jutaan unit hilir mudik di kota Jakarta saja.

Arus pulang (kerja) di hari Jumat malam adalah yang paling deras. Malam itu, 29 Agustus 2008 bahkan lebih deras lagi, Jumat terakhir sebelum memasuki bulan Ramadhan. Jumat malam itu, pasrah menanti bus Jakarta-Bogor ‘Danau Bogor Raya’ yang terlambat lebih dari 40 menit, kami bertiga (saya, Devi, dan Hendi) menyaksikan mereka bertiga (wanita hamil, sang pria, dan sang calon anak) melaju menjauhi perhentian sepeda motor di depan gedung Sampoerna Strategic , Jakarta Pusat.

4 comments:

Berly said...

Ini kok nyambung banget ama salah satu posting di kafe depok yah.
Tp setuju, motorist di Jakarta taking too much risk

steisimileiva said...

@berly: iya, kebetulan banget! Ulasan di kaFE depok dibuat dari sisi penawaran solusinya, yang tentunya dengan ilmu2 FE (ekonomi). http://kafedepok.blogspot.com/2008/09/how-to-make-motorist-behave.html

Wijoyo Simanjuntak said...

salam kenal yah...

saya tanggapi dikit yah...menurut saya, bentuk kredit konsumtif seperti kredit motor itu cukup merusak moral juga sih...terlalu membuat masyarakat ingin memiliki, walaupun secara ekonomi belum mampu. Di lain pihak, penggunaan motor juga memang tidak aman dibanding mobil. Mereka berharap, dgn memakai motor, bisa mengurangi pengeluaran utk transportasi...

tanya kenapa?

steisimileiva said...

@wbfs: salam kenal juga!

Indonesia negeri tercinta kita ini memang masih perlu banyak dibantu dalam hal infrastruktur transportasi... bayangkan betapa terbantunya para pekerja yang lalu lalang setiap harinya (seperti saya dulu) jika transportasi umum terjangkau, nyaman, aman...

berminat membantu?? tanya bagaimana??